Digital Map PETA

Posted by : Iko Minggu, 22 September 2013

TBC
JAKARTA – Penanganan penyakit tuberculosis (TB) pada dasarnya tidak sulit. Penyakit yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis tersebut sudah ada obatnya dan bisa diakses oleh semua penderita dengan cuma-cuma alias gratis di Puskesmas, rumah sakit dan fasilitas layanan kesehatan (Fayankes) lainnya.
tbc_x_ray
Kunci kesembuhannya adalah disiplin minum obat dan bersedia menuntaskan program pengobatan sesuai petunjuk petugas kesehatan.
Tetapi masalahnya, ada banyak penderita TB yang kurang disiplin minum obat dengan berbagai alasan, mulai dari alasan sudah lebih sehat hingga alasan tidak mau tersiksa lagi dengan jadwal minum obat. Mereka memutuskan berhenti minum obat meski jadwal minum obatnya belum tuntas.
Kasus drop out (berhenti minum obat) tersebut dikatakan Dirjen Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kementerian Kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama belakangan menjadi masalah serius dalam hal penangan penyakit TB di dunia termasuk di Indonesia.
TB MDR
Anton, pasien TB MDR di RS Medika Depok saat dijenguk Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Dirut PT Askes Fachmi Idris. (Inung)
Sebab sebagian dari pasien TB yang drop out tersebut diketahui telah menjadi penderita TB multi drug resistant (MDR). “Artinya,  penderita TB sudah mengalami kekebalan terhadap pengobatan TB lini pertama dan harus mendapatkan pengobatan TB MDR yang jauh lebih mahal dan sulit,” jelas Tjandra.
Hasil Drug Resistance Survey (DRS) atau survei kekebalan obat TB di Jawa Tengah pada 2006 misalnya menemukan bahwa 17,1 persen pasien TB resisten  (kebal) obat ternyata adalah pasien TB yang pernah mendapatkan pengobatan. Dan hanya 1,8 persen kasus TB resisten yang merupakan kasus baru.
Hal yang sama juga ditemukan di Jawa Timur. Survei yang dilakukan pada 2009 menunjukkan bahwa 2 persen TB MDR ditemukan diantara kasus baru dan 9,7 persen TB MDR ditemukan pada TB yang sudah pernah diobati.
Tjandra menjelaskan bahwa TB resisten adalah TB yang disebabkan oleh kuman mycrobacterium tuberclosis yang telah mengalami kekebalan terhadap obat anti tuberculosis (OAT). TB resisten tersebut timbul melalui dua cara, yakni pasien TB yang drop out pengobatan dan kasus penularan dari pasien TB resisten kepada pasien baru TB.
TB MDR tersebut lanjut Tjandra kini menjadi masalah baru yang dihadapi program pemberantasan TB di Indonesia. Mengingat angka kejadian kasus cenderung meningkat dari tahun ke tahun. WHO global report 2012 telah menempatkan Indonesia pada peringkat 9 dari 27 negara dengan beban TB MDR terbanyak didunia dengan perkiraan pasien sebanyak 6.620 orang.
“Ini problem yang sekarang kita hadapi ditengah-tengah prestasi Indonesia dalam hal penanganan kasus TB,” tukas Tjandra.
Persoalan TB MDR kata Tjandra bukan sekedar kasus TB biasa yang sudah banyak ditangani petugas kesehatan. TB jenis ini tergolong lebih sulit penanganannya dengan biaya yang sangat mahal. Tjandra menjelaskan bahwa diagnosis dan pemantauan TB MDR  jauh lebih rumit melebihi penanganan kasus TB pada pasien HIV/AIDS.
“Untuk mendiagnosis TB MDR, diperlukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan kuman terhadap obat,” kata Tjandra.
Sejauh ini  pemeriksaan biakan dan uji kepekaan kuman TB baru  bisa dilakukan di laboratorium rujukan yang telah mendapat sertifikasi oleh Laboratorium Rujukan Supra Nasional IMVS Adelaide Australia yakni di BBLK Surabaya, Laboratorium Mikrobiologi FKUI, laboratorium mikrobiologi RS Persahabatan, BPLK Jabar dan lab NHCR-UNHAS Makasar.
BISA DISEMBUHKAN
Meski tergolong sangat sulit dan berbiaya mahal dikatakan Tjandra, TB MDR adalah jenis penyakit yang dapat disembuhkan. Data Kemenkes hingga akhir Desember 2012 menyebutkan dari 4.297 suspek TB MDR, 1005 pasien TB MDR, 825 pasien diantarnya sudah menjalani pengobatan dengan angka keberhasilan mencapai 71 persen.
Hanya saja untuk menyembuhkan TB MDR  dibutuhkan waktu yang lebih lama berkisar 18-24 bulan dengan paduan obat yang harganya jauh lebih mahal serta penanganan yang lebih sulit. Disamping itu, paduan obat TB MDR ini jumlahnya lebih banyak dengan efek samping yang lebih berat.
Dari sisi fayankes yang mampu menangani kasus TB MDR, diakui Tjandra jumlahnya masih terbatas. Sampai 2012 di Indonesia baru 9 RS rujukan pelayanan TB MDR yakni RS Persahabatan, RS dr. Soetomo, RS dr Syaiful Anwar, RS dr Moewardi, RSUD Labuang Baji, RS Hasan Sadikin. RS Adam Malik, RS Sanglah dan RS dr Sardjito.
“Keterbatasan fayankes yang bisa menangani kasus TB MDR tersebut membuat banyak rumah sakit, B/BKPM, klinik swasta, praktisi swasta yang melakukan pengobatan terhadap pasien terduga TB MDR dengan menggunakan paduan obat yang tidak standar yang dijual bebas dipasaran,” katanya.
Tjandra mengatakan sulitnya penanganan TB MDR tersebut sangat berkemungkinan menjadi  masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di Indonesia. Karenanya, segala upaya harus dilakukan untuk mencegah penularan dan perkembangan kasus.
Salah satu caranya adalah melaksanakan tatalaksana pasien TB yang berkualitas dengan tetap menggunakan strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse) atau dikenal dengan strategi pendampingan minum obat.
Tujuannya supaya paling sedikit 95 persen pasien TB yng diobati bisa disembuhkan dan pasien TB yang drop out pengobatan dapat dicegah atau dikurangi sehingga tidak melaju menjadi TB MDR.
“Strategi DOTS dimana kita mengerahkan orang-orang terdekat, keluarga atau petugas kesehatan untuk memantau meminum obat, sudah terbukti efektif dan efisien untuk menanggulangi kasus TB. Dan ini akan kita lanjutkan,” pungkas Tjandra.
AKSI NASIONAL
Untuk mencegah makin bertambahnya kasus TB MDR, Kementerian Kesehatan sendiri dikatakan Menkes Nafsiah Mboi telah merencanakan aksi nasional  berupa programmatic management of drug resistant TB (PMDT) 2011-2014. Rencana aksi tersebut pada intinya menjabarkan analisis situasi, isu strategis, rumusan strategi, kegiatan, monitoring dan evaluasi upaya yang akan dilakukan Indonesia menghadapi tantangan TB MDR ke depan.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya kasus TB MDR melalui pelayanan DOTS yang bermutu dan melaksanakan manajemen kasus TB MDR secara terstandarisasi sesuai dengan pedoman nasional pelaksanaan PMDT dengan melibatkan partisipasi aktif dari pemangku kepentingan baik ditingkat pusat maupun daerah.
Sebagai salah satu penjabaran rencana aksi tersebut pada Oktober 2012 Dirjen PP dan PL Kemenkes telah mendistribusikan surat edaran tentang alur rujukan pasien TB MDR dan alur rujukan suspek TB MDR/rujukan sputum untuk diagnosis TB MDR ke semua dinas kesehatan di 33 propinsi. “Secara bertahap, diharapkan pada 2014 seluruh penduduk Indonesia mempunyai akses terhadap pelayanan PMDT,” tegas Nafsiah. (Inung/D)

sumber: http://www.poskotanews.com/2013/08/11/disiplin-kunci-penanganan-penyakit-tb/

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Diberdayakan oleh Blogger.

Social Icons

About Me

Powered By Blogger

Translate

Pages

About

Featured Posts

Social Icons

- Copyright © Pejuang Tangguh TB RO -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -